NGOPILOTONG.COM,  -  Berbicara tentang Manipi hari ini, bayangan kita adalah gunung yg berselimutkan awan dengan jalan-jalan terjalnya ditambah dengan kisah-kisah yg berbau mitos dan legenda, walau sesungguhnya Manipi jg punya banyak bukti sejarah yang bisa dibanggakan. 


Penamaan Manipi memang berselimutkan mitos yang terangkum dalam lembaran lontara. Penamaan Manipi menurut lontara Patturiolonga ri Turungang mengatakan bahwa Manipi itu berasal dari kata Macipik yang berarti sempit. Dalam lontara itu disebutkan bahwa :


,, mallaibiniki I Bungko na anakna Arung Karampuang, engkai natik ri alekna Turungang lolang2 mpawai asunna namadeceng mammitai abbanuang. Makkeddai ri makkunrainna, engkaro, manaik uita madeceng onrong, masagena, sisiapa. Iya nrinnia MACIPIK weggang dekna isseng na onroi rangeng-rangetta.


Asal usul penamaan Manipi bisa dikembangkan lagi melalui jalur bahasa Bugis. Manipi dalam bahasa Bugis berarti alam kubur atau alam akhirat sehingga kata Manipi ini selalu disandingkan dgn kata Tassililu yg bermakna tempat menenangkan diri atau bertenang-tenang yang jg bermakna bahwa alam akhirat adalah tempat menikmati hasil perjuangan dan ibadah saat di dunia sdh berakhir (info dari Pak Haji Syahruddin Fattah, penulis kamus bhs Bugis Kuno). 


Kalau penamaannya dari bahasa Bugis ini tidak ada masalah sesungguhnya karena memang, raja raja Manipi dan masyarakat nya sejak lama sudah akrab dengan raja raja Bugis khususnya Kerajaan Bone yg dibuktikan dengan banyaknya catatan harian raja raja Bone yang mencatat khusus tentang Manipi dan Wawobulu atau Pitulimpoe ini. Salah satunya adalah La Temmassonge yg menulis dlm lontara Catatan Harian beliau tanggal 10-4-1753 tentang wafatnya Raja Manipi. Beliau menulis, datang Arung Turungang menyampaikan bahwa Arung Manipi meninggal satu minggu yang lalu,,. 


Dalam perkembangannya, tempat yg tidak disukai oleh I Bungko tersebut  justru di datangi oleh Manurung Liju putra dari La Remmang2, seseorang yg datang dari Majapahit atau Manjappai yg sedang bermukim di Terasa. Kedatangannya di Macipik atau Manipi disambut hangat oleh orang setempat . Dia mengajarkan ilmu bertani, beternak, menenun, menangkap ikan dll. Sebelum dia meninggal, dia mengajarkan prinsip prinsip demokrasi dan tata pemerintahan yg baik. Dia mengajarkan bahwa pemimpin itu harus :

  • bija mammajiki kala bija mangodii
  • bija manrappung kala bija lammelak
  • bija ngampae kala bija nisampeang
  • bija paonang kala bija tallangang

Selain syarat pemimpin di atas, dia juga mengajarkan fungsi hukum atau bicara . Dia mengatakan bahwa hukum atau bicara itu sesuatu yg suci dan harus dihormati yang tidak bisa menguntungkan sepihak tapi harus jujur dan adil. Dia mengatakan : 

  • bodoi tanrisambung
  • lambere tanripolong
  • tinggi tanrilingkai
  • rapak tanrisaluki

Begitu dia meninggal, maka tidak ada yang merasa mampu menyamai kedudukan nya, apatah lagi dikenal sebagai To Manurung sehingga yang memerintah di Manipi selanjutnya adalah To Matoa yg disebut To Matoa Manipi yakni Kasa Bulaeng Tali Bannang yang berkedudukan sebagai Ulu Anang. Beliau digantikan oleh Sawalang Daeng Manyombalang, Ampa Daeng Paola dan Dapi Deppalallo. 


Setelah kepemimpinan Dapi Deppalallo, kepemimpinan berubah menjadi Karaeng.


Sumber :

  • Lontara Patturiolongnga ri Turungang milik Puang Sahibe di kampung Soppeng. 
  • Lontara Silsilah Manipi milik pak Ishak Manipi. 
  • Catatan Sistem pemerintahan Manipi milik pak Abd. Kadir di Manipi
  • Daftar regent Oostdistrichten milik penulis
  • Lontara Catatan Harian La Patau dan La Temmassonge milik penulis( copyan) 
  • Lontara Datu Halie milik penulis dan milik Ivan Akil di Wajo 
  • Ekspedisi Militer Belanda di Sinjai 1860-1871 koleksi penulis 
  • dll. 



Penulis   : Drs. Muhannis (Alm)

Editor     :  Ahmad Firdaus



Baca Artikel Lainnya di GOOGLE NEWS