Kopi tanpa narasi, hanyalah air berwarna hitam, Ucapan itu benar, sebab kopi memiliki banyak aspek yang tidak hanya menyangkut urusan kuliner atau sekadar menyesap kafein. Ada relasi sosial, sejarah, budaya, dan gaya hidup. Ada pula urusan politik. Pendek kata, secangkir kopi mengandung beribu cerita tergantung bagaimana kita memaknainya.


NGOPILOTONG.COM   -  Dalam urusan politik, secangkir kopi dapat membantu orang berbicara dengan baik dan membuat mereka menjadi lebih baik. Karena itu, kopi, dengan segala turunannya, seperti "kopi darat", coffee break, atau "ngopi-ngopi", adalah kata lain untuk menawan seseorang untuk membantu mereka mencapai tujuannya dan pekerjaan mereka. Ketika kopi menemukan makna sosialnya, ia berubah menjadi wadah perekat dan pemantik diskusi kritis, tempat menyeduh penentangan dan menyeruput perkawanan.


Bahkan banyak rencana revolusi ditemukan di kedai kopi di seluruh dunia. Nama-nama terkenal seperti Soekarno, Syahrir, Tan Malaka, Michel Gerbachev (mantan Presiden Uni Soviet), Juan Peron (mantan Presiden Argentina), Roberto Fujimori (Peru), dan para kaum borjuis yang mendorong Revolusi Prancis minum kopi untuk berbagi ide-ide kebangsaan mereka. Mereka melakukannya dengan cerutu dan tembakau.


Komunitas-komunitas kritis dituduh melakukan subversif, dan kebebasan ekspresi dan berdikusi dilarang selama kedua era Orde Baru dan Orde Lama. Dalam keadaan seperti ini, para aktivis perubahan tidak memiliki kebebasan untuk menciptakan perubahan dan memenuhi keinginan rakyat. Edukasi, advokasi, dan mobilisasi massa tidak ada.


Ketika mereka menyadari perubahan, mereka mencari "jalan lain". Orang-orang anti-pemerintah, seperti Hariman Siregar dan rekannya, sering ngopi di Tanah Abang Jakarta. Mereka merencanakan untuk menentang penanaman modal asing. yang kemudian memicu penentangan terhadap penanaman modal asing pada tahun 1974, peristiwa Malari. Tokoh mahasiswa lainnya melakukan hal yang sama; mereka membuat rencana dan percakapan kritis sebelum gerakan reformasi 1998 berakhir.


Jauh sebelumnya, ada cerita bahwa Ken Arok mendapatkan kekuatan politiknya dari kedai kopi para begal. Ia bahkan berhasil menggunakan kedai kopi sebagai tempat untuk belajar politik sebagai strategi untuk mengambil alih Kerajaan Kediri dan membunuh Tunggul Ametung.


Kopi sebagai Pemicu Revolusi di Eropa


Kopi pernah menjadi subjek perdebatan panjang di Eropa selama abad ke-16. Sejarah "benua biru" memang banyak melibatkan kopi sebagai bagian penting dari kehidupan mereka. Kopi dihormati, tetapi kadang-kadang juga dituduh berbahaya. Mula-mula, kopi dianggap sebagai obat medis sejak pedagang Italia dari Venezia membawa kopi dari Timur Tengah pada tahun 1615. Pada akhirnya, kopi menceritakan kisah lain yang sebagian berhubungan dengan masalah sosial, politik, dan budaya.


Dalam Cuisine and Culture: A History of Food and People, Linda Civitello mengatakan bahwa kedai kopi di Eropa memberi orang-orang Eropa alasan untuk berkumpul di ruang publik tanpa alkohol untuk pertama kalinya. Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi kebiasaan sosial yang politis. Dalam artikel berjudul "Back to the coffee house" yang diterbitkan oleh situs The Economist pada 7 Juli 2011, konsep media massa pada saat itu tidak memiliki definisi yang jelas. Proses dialogis menyebarkan berita dari mulut ke mulut di kedai kopi.


Masyarakat masa itu memiliki hubungan aksiologis dengan bau kopi, yang digambarkan oleh penyair Inggris Sir George Sandys sebagai "sehitam jelaga dengan rasa tak biasa". Temuan di kedai kopi itulah yang memicu Revolusi Perancis 1789.


Kaum intelektual Perancis pada masa itu, termasuk Voltaire, JJ Rousseau, Montesquieu, dan Denis Diderot, sering nongkrong di Café d’Alexandre untuk berbicara tentang ide-ide mereka. Selain itu, filsuf D'Holbach sering hadir di warung kopi tersebut untuk menyampaikan pemikirannya. Di sinilah konsep pencerahan (enlightenment) Perancis berkembang dan menjadi lebih luas. Menurut Antoine François Prévost, kopi menjadi cikal bakal kesetaraan dan republikanisme karena memiliki kebebasan untuk memilih apakah mendukung atau menentang pemerintah. Sejak saat itu, ngopi telah menjadi kebiasaan yang terkait dengan pemikiran.


Saat kedai-kedai kopi muncul di Inggris, kopi secara bertahap menemukan makna sosialnya—dikonsumsi sembari berbincang-bincang—dan menjadi lebih dari sekadar minuman sehari-hari. Saat ini, kopi telah terlibat dalam banyak perubahan sosial-politik.


Tidak diragukan lagi, perkembangan politik kedai kopi di Inggris saat itu membuat Raja Inggris Charles II melarang kedai kopi pada 29 Desember 1675, mengatakan bahwa mereka membuat orang mengabaikan tanggung jawab sosial dan mengancam stabilitas kerajaan. Di London juga ada protes. Singkatnya, raja mengundurkan diri dua hari sebelum aturan itu berlaku.


Frederick the Great di Jerman terganggu oleh popularitas kopi. Pada tahun 1777, dia menulis sebuah pernyataan yang mendukung bir, minuman Jerman tradisional, dengan berkata, "Menjijikkan melihat meningkatnya kuantitas kopi yang dikonsumsi rakyatku, dan implikasinya, jumlah uang yang keluar dari negara kita." Orang-orang saya harus minum bir. Bir adalah sumber kemuliaan kita sejak lama.


Di era kolonial Amerika, menikmati kopi menjadi cara untuk menunjukkan kesetiaan pada revolusi. Pemerintah Inggris menaikkan pajak teh, dan kopi menjadi simbol penolakan. Ini juga menyebabkan pembuangan teh besar di pelabuhan Boston.


Sebuah catatan yang ditulis oleh Sir George Sandys, seorang penyair Inggris, pada tahun 1610 menunjukkan bahwa orang-orang Turki sering berbicara sambil menyeruput kopi sepanjang hari. Ibrahim Pecevi, seorang penulis sejarah Ottoman yang hidup dari 1642 hingga 1649, juga menulis tentang pembukaan kedai kopi pertama di Istanbul pada 1530.


Dalam serial televisi Turki "Abad Kejayaan", karakter Sumul Aga, yang merupakan ajudan dari Permaisuri Raja Ottoman yang diusir dari kerajaan, mendirikan sebuah warung kopi. Warung kopi yang didirikan oleh Sumul Aga kemudian berkembang dan menjadi lebih besar. Bahkan sejak Pangeran Mahkota Mustafa meninggal, warung kopi telah digunakan oleh rakyat untuk membuat keresahan dan berbicara tentang masalah politik kerajaan. Akibatnya, Raja Sulaiman menetapkan aturan yang melarang rakyatnya mendirikan warung kopi.


Kedai kopi Mekah di luar Eropa juga menjadi perhatian sebagai tempat pertemuan politik.Pada 1511 M, Gubernur Muda Makkah Khair-Beg melarang pendirian kedai kopi karena kritik dan satirnya terhadap dirinya.


Dalam ranah politik, kopi membedakan penaklukan (penaklukan) dan kegigihan. Yang terberai akan menjadi padu di warung kopi. Kopi adalah simbol keguyuban dan perlawanan terhadap kesewenangan, yang menunjukkan prinsip kebersamaan dan egaliter.


Artikel ini ditulis diblog Warkop Carita Jelang Pemilu 2019 dan diangkat kembali Jelang Pemilu 2024, dengan Narasi berbeda.


Baca Berita Lainnnya di Google News

Jasa Branding dan Pasang Iklan Caleg Pemilu 2024 Hubungi